Dampak Virus Corona Pada Sektor Ketenagakerjaan Indonesia

Dampak Virus Corona Pada Sektor Ketenagakerjaan Indonesia – Indonesia mengonfirmasi kasus pertama infeksi virus korona yang menyebabkan Covid-19 pada awal Maret 2020. Sejak saat itu, pemerintah melakukan berbagai langkah penanggulangan untuk mengurangi dampak pandemi Covid-19 di berbagai sektor.

Dampak Virus Corona Pada Sektor Ketenagakerjaan Indonesia

Sumber : lipi.go.id

Hampir semua sektor terpengaruh, tidak hanya kesehatan. Akibat pandemi virus korona, sektor ekonomi juga terpukul parah. Pembatasan kegiatan masyarakat dapat mempengaruhi kegiatan usaha, yang selanjutnya berdampak pada perekonomian.

slapsticon – Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus tahun ini melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II tahun 2020 adalah negatif 5,32%. Sebelumnya, BPS melaporkan pada kuartal I tahun 2020 laju pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya meningkat sebesar 2,97%, jauh lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 sebesar 5,02%.

Kinerja ekonomi yang lemah juga mempengaruhi situasi ketenagakerjaan di Indonesia. Lembaga smeru, lembaga independen yang melakukan penelitian dan penelitian publik, merilis pernyataan kebijakannya pada Agustus 2020 bertajuk “Perkiraan potensi dampak krisis Pandemi COVID-19 di pasar tenaga kerja.”

Dalam catatan tersebut, tim peneliti smeru menegaskan bahwa krisis ekonomi yang dialami Indonesia di sektor ketenagakerjaan setidaknya memiliki dua dampak. Pertama, jumlah pengangguran meningkat, dan kedua, struktur pasar tenaga kerja berubah setelah krisis.

1. Pengangguran Meningkat

Sumber : kompasiana.com

Menghambat kegiatan ekonomi secara otomatis akan menyebabkan pelaku usaha meningkatkan efisiensi untuk mengurangi kerugian, yang mengakibatkan banyak pekerja yang dipecat atau bahkan dipecat.

Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) per 7 April 2020, akibat pandemi Covid-19, 39.977 perusahaan di sektor formal telah memilih untuk menempatkan dan memecat pekerja. Jumlah total pekerja yang terkena dampak ini adalah 1.010.579.

Secara spesifik, 8.73090 pekerja dari 17.224 perusahaan dipecat, sedangkan 137.489 pekerja dari 22.753 perusahaan dipecat. Sedangkan jumlah perusahaan dan pekerja yang terdampak sektor informal adalah 34.453 perusahaan dan 189.452 pekerja.

Baca juga : 10 Aksi Perampokan Cyber Crime Terbesar Di Dunia

Namun demikian, tim peneliti smeru dalam pernyataan kebijakannya menyatakan bahwa angka tersebut belum mencerminkan tingkat pengangguran secara keseluruhan karena tidak termasuk pengangguran dan pekerja baru di sektor informal.

Tim peneliti smeru kemudian melakukan simulasi untuk menghitung kenaikan jumlah pengangguran dan menghitung pengurangan tenaga kerja yang terserap oleh masing-masing sektor usaha akibat kontraksi ekonomi hingga akhir Maret 2020.

Mengutip catatan kebijakan smeru, hasil simulasi menunjukkan bahwa TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka) meningkat dari 4,99% pada Februari 2020 (data BPS) menjadi 6,17% -6,65% pada Maret 2020.

Persentase ini setara dengan peningkatan jumlah penyerapan tenaga kerja yang berkurang, mencapai sekitar 1,6 juta hingga 2,3 juta. Dilihat dari sebaran sektor, perdagangan merupakan sektor yang mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja terbesar.

Perkiraan menunjukkan bahwa jumlah orang yang bekerja di sektor ini telah menurun sekitar 677.100-953.200. Namun secara proporsional, industri konstruksi merupakan sektor yang paling banyak mengalami pengurangan tenaga kerja yaitu sebesar 3,2% -4,5% dari total jumlah tenaga kerja di sektor ini pada Februari 2020.

Namun demikian, beberapa sektor diperkirakan masih menyerap tenaga kerja, seperti jasa pendidikan, informasi dan komunikasi, jasa kesehatan dan kegiatan sosial, serta jasa keuangan dan asuransi.

Hal tersebut mungkin karena pada kuartal pertama tahun 2020, produk domestik bruto (PDB) sektor ini mengalami peningkatan dibandingkan periode yang sama tahun 2019.

2. Pasar Tenaga Kerja Pasca Krisis

Sumber : bbc.com

Tim peneliti smeru menyatakan setidaknya ada empat poin yang akan mendorong perubahan lanskap pasar tenaga kerja pasca krisis ekonomi dan pandemi Covid-19.

Pertama, penyerapan tenaga kerja tidak akan sebesar jumlah pekerja yang di-PHK. Perbedaan di antara pekerja yang tidak terserap akan jatuh ke dalam pengangguran.

Apa dampak pemulihan ekonomi pasca krisis? Muhammad Adi Rahman, ketua tim peneliti yang menulis pernyataan kebijakan ini, mengatakan bahwa pengangguran (termasuk tenaga kerja baru dan yang di-PHK akibat krisis) sangat mungkin terjadi di sektor informal.

Dalam wawancara tertulis dengan Kompas.com , Adi mengatakan: “Oleh karena itu, pengembangan rencana pemulihan ekonomi pascakrisis diharapkan dapat mengarah pada pengembangan sektor informal sehingga produktivitas meningkat.” 8/2020).

Ia mengatakan hal ini perlu karena jika produktivitas pekerja bisa ditingkatkan, ia berharap upah mereka juga bisa meningkat. Ia mengatakan: “Sekalipun usaha ini bisa berkembang, saya berharap juga bisa membuka lapangan kerja agar bisa menyerap tenaga kerja.”

Kedua, perusahaan hanya akan merekrut pekerja yang sangat produktif dan dapat menyelesaikan banyak tugas (multitasking) sekaligus.

Misalnya, industri perhotelan hanya akan merekrut pekerja dengan keterampilan manajemen, dan juga dapat memberikan layanan kepada tamu di bagian restoran.

Ini biasa terjadi bahkan sebelum pandemi. Namun, perusahaan akan semakin membutuhkan prasyarat ini dalam proses rekrutmen pasca krisis.

Adi menuturkan, pandemi yang terjadi saat ini merupakan peluang bagi sebagian pelaku usaha untuk bertransformasi dari dulu padat karya menjadi padat modal.

Adi mengatakan: “Situasi krisis ini sepertinya menjadi pelajaran bagi para pelaku usaha untuk meningkatkan efisiensi. Sebab dalam situasi krisis ini, walaupun kegiatan produksi terhenti atau dihentikan sementara, mereka tetap harus menanggung beban upah.”

Menurutnya, dibandingkan dengan tenaga kerja, efisiensi peningkatan rasio modal menjadi pertimbangan pelaku usaha untuk meningkatkan status keuangan perusahaan ke depan. Selain itu, jika suatu saat pandemi kembali terjadi, risikonya juga harus diramalkan.

Ketiga, wilayah bisnis yang akan berkembang pasca pandemi Covid-19 adalah bisnis terkait teknologi. Tenaga yang dibutuhkan juga tenaga yang mampu di bidang teknik.

Pergeseran metode kerja selama pandemi membuktikan hal ini. Jika sebelumnya pekerja diharapkan bekerja di tempat kerja, pada saat pandemi ini pekerja juga harus beradaptasi untuk mengurangi aktivitasnya, terutama yang melibatkan banyak orang.

Salah satunya melalui penerapan model kerja work at home (WFH).

Menurut Adi, pandemi yang terjadi saat ini bisa dikatakan menjadi katalisator pengadopsian teknologi sosial. Begitu pula dalam proses bisnis perusahaan yang mulai mempertimbangkan transisi dari padat karya ke padat modal.

Di perusahaan padat modal ini dibutuhkan tenaga kerja yang mampu mengoperasikan mesin, dengan kata lain memiliki tingkat penguasaan teknologi yang lebih tinggi.

“Seperti perusahaan lain misalnya, perusahaan retail masa depan mungkin saja menggunakan platform online dalam skala yang lebih besar, yang membutuhkan tingkat literasi dan informasi digital yang lebih tinggi dari sebelumnya,” kata Adi.

Baca juga : Cara Sederhana Mencegah Virus Corona ( Covid-19 )

Keempat, sistem outsourcing dan pekerja kontrak akan lebih diminati oleh pelaku usaha. Karena mereka semua memberi perusahaan fleksibilitas yang tinggi dalam hal tenaga kerja.

Adi menjelaskan, fleksibilitas mengacu pada hubungan kerja nonstandar, seperti pekerja paruh waktu atau pekerja kontrak harian.

Fleksibilitas ini dinilai menarik bagi pelaku bisnis dan dapat menyeimbangkan perubahan lingkungan bisnis di masa mendatang.

Meski demikian, ia mengingatkan bahwa kesejahteraan pekerja harus dijaga dengan memberikan perlindungan tenaga kerja.

Adi mengatakan: “Seperti yang dinyatakan di bagian dampak kebijakan, kami yakin perlu untuk mendukung program hubungan kerja seperti outsourcing melalui program jaminan kerja,”

Dia menambahkan: “Terutama mereka yang terlibat dalam hubungan kerja non-standar, seperti pekerja paruh waktu dan pekerja kontrak harian.”

Hal ini menurutnya perlu mendapat perhatian, karena cakupan pekerja yang tercakup dalam skema jaminan kerja saat ini masih sangat kecil.

Adi mengatakan: “Selain itu, ada juga rencana tunjangan pengangguran yang perlu diperhatikan untuk melindungi pekerja yang terkadang kehilangan penghasilannya, seperti mereka yang tidak dibayar karena kehilangan pekerjaan atau dipecat.”